Berawal dari perubahan status Prefektur Apolstolik
Batavia (1807) menjadi Vikariat Apostolik Batavia (1842), maka pada awal
permulaan abad ke-20 Vikar Apostolik Batavia mengajukan permohonan kepada
beberapa Kaum Religius Belanda untuk melakukan Karya Misionaris di Indonesia.
Menanggapi permohonan Vikar Apostolik Batavia yang
ditujukan kepada kaum religius di Negeri Belanda, maka tahun 1902 Kaum
Missionaris dari Kelompok Hati Kudus Yesus (MSC) merespon permohonan itu dan datang
ke Indonesia lalu melakukan misi pelayanan di bagian timur Nusantara.
Selanjutnya Kaum Misionaris dari Kelompok Kapusin
juga datang ke Indonesia lalu pada tahun 1905 mendirikan Prefektur Apostolik di
Kalimantan dan pada pertengahan tahun 1911 Kaum Kapusin memperluas misi
pelayanan di Pulau Sumatera bagian barat, lalu Prefektur Apostolik Sumatera
oleh Mgr. Liberatus Cluts, OFMCap didirikan pada tahun 1912 dan menjabat
sebagai Prefek Apostolik yang pertama dan menjabat sampai tahun 1921.
Prefek Apostolik Sumatera yang kedua setelah Mgr.
Liberatus Cluts. OFMCap adalah Mgr. Mathias Bran, OFMCap, yang menjabat dari
tahun 1921 sampai tahun 1954. Saat menjabat sebagai Prefek Apostolik di
Sumatera, Mgr. Mathias Bran, OFMCap membuat orientasi baru dalam usahanya untuk
mewujudkan misi dengan tema, “Kita Harus Saling Memilik”.
Pemikiran Mgr. Mathias Bran, OFMCap untuk orientasi
baru, muncul setelah melihat karya pastoral hanya peduli pada anggota kolonial
eropa saja, tetapi pada kenyataannya Mgr. Mathias Bran, OFMCap melihat, bahwa
betapa pentingnya misionaris berkarya diantara penduduk pribumi di Sumatera.
Untuk apa yang dia lihat di lapangan, lalu Mgr. Mathias Bran, OFMCap menulis
surat ke Negeri Belanda.
Tetapi pemikiran Mgr. Mathias Bran, OFMCap terhenti,
terhalang kebijakan hukum Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang sangat kejam,
yang tidak memperbolehkan adanya misi baru di wilayah yang sudah masuk dalam rencana
kerja Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Kebijakan itu akhirnya menghentikan
niat Mgr. Mathias Bran, OFMCap, sampai Pemerintah Kolonial memberikan lampu
hijau.
Pasca kebijakan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda
yang melarang untuk membangun misi baru, Mgr. Mathias Bran, OFMCap tidak
menjadi putus asa karenanya. Kemudian ia memulai perjuangan panjangnya dengan
membawa kebijakan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda kepada Dewan Parlemen di
Negeri Belanda, agar kebijakan yang tercatat dengan judul “Article 123 / 177
ditinjau kembali dan dihapuskan untuk kepentingan karya misi.
Perjuangan yang telah melalui perjalanan yang
sangat panjang, akhirnya dimenangkan Mgr. Mathias Bran, OFMCap, dan mendapat
ijin untuk misi baru pada tahun 1928 di Sibolga selanjutnya tahun 1933 untuk
daerah Batak secara umum dan tahun 1939 untuk Kepulauan Nias.
Setelah pelayanan pastoral Sumatera Selatan
dipisahkan dari Sumatera Utara pada tahun 1923, maka diputuskan pelayanan
pastoral di Sumatera Selatan diserahkan kepada beberapa kelompok kongregasi,
antara lain Kongregasi Hati Kudus Yesus (SCJ) berkarya di Prefektur Apostolik
Bengkulu yang baru berdiri, dan Kongregasi Hati Kudus Yesus dan Maria (SSCC)
berkarya di Prefektur Apostolik Pangkal Pinang, yang meliputi daerah Riau,
Bangka dan Kepulauan Belitung. Sedangkan pimpinan Kongregasi Kapusin sendiri
telah tinggal di Sumatera Bagian Utara.
Disamping kongregasi-kongregasi yang di datangkan
dari luar, rupanya kongregasi baru juga didirakan di daerah misi baru. Pada
tahun 1922 kongregasi baru didirikan di Sawahlunto, pada tahun 1924 didirikan
di Payakumbuh dan pada tahun 1926 didirikan di Fort de Kock Bukit Tinggi.
Dengan demikian, Kaum Misionaris mulai
berbondong-bonong datang ke Prefektur Apostolik Padang sejak tahun 1902, dimana
para suster-suster dari Kelompok Berbelas Kasih (Tillburg), sudah melakukan
karya pastoral disana sejak tahun 1885.
Masih di Prefektur Apostolik Padang, pada tahun
1925 suster-suster Fransiskanes (Bennebroek) juga ikut melakukan karya
pastoral, dan membuka biara dan sekolah di Kota Sawahlunto, Payakumbuh dan
Bukittinggi.
Pada tahun 1932 Prefektur Apostolik Padang berubah
status menjadi Vikariat Apostolik Padang, barulah Pimpinan para imam dan frater
Kapusin datang dari Belanda untuk mendukung perluasan tempat berkarya para
misionaris di Sumatera Utara, di Kota Medan dan Pematangsiantar.
Tetapi Suku Batak yang berada disekitar
Pematangsiantar, melarang para misionaris masuk ke wilayah mereka sampai pada
tahun 1933. Padahal pada tahun 1931 seorang imam ditemukan di Pematangsiantar
seorang diri, yang sedang berkarya di Dataran Tinggi Toba Tapanuli untuk
menemukan siapa saja yang ingin di baptis.
Setelah pemerintah mengijinkan berkarya di
Tapanuli, pada tahun 1934 para misionaris segera masuk ke Tapanuli dari selatan
Danau Toba dan membuka tempat di Balige, sebuah kota dimana Missio Protestan
telah sampai lebih dulu dan berkarya disana sejak 1861, dan melalui Kota Balige
pada tahun 1936 para misionaris mulai masuk ke Pulau Samosir.
Sejak berkarya di Pulau Samosir, pada tahun 1939
karya misi para imam-imam baru dialihkan ke Palipi dan Onanrunggu lalu ke
Pangurururan pada tahun 1940. Dan pada tahun 1938 para misionaris sudah mengetahui
bahwa di Kota Saribudolok sudah berdiri sebuah paroki, yang menjadi pusat karya
misi di Wilayah Batak Simalungun dan satunya lagi di Kota Sidikalang sebagai pusat
karya misi di Wilayah Batak Karo.
Pada periode yang sama tahun 1937, para misionaris
sudah memulai karya di sebelah tenggara Danau Toba dan membuka tempat singgah
di Lintongnihuta, lalu pada tahun 1940 membuka rumah singgah di Pakkat dimana
masyarakat Batak Pakpak terkonsentrasi.
Disamping melakukan karya misi ke Tanah Batak,
rupanya para misionaris juga berusaha memasuki Kepulauan Nias dari Kota
Sibolga. Sementara di Sibolga sendiri pada tahun 1929 sebuah paroki berhasil
dibuka, dan menjadi jalan bagi misionaris untuk masuk ke Kepulauan Nias dan
pada tahun 1939 para misionaris berhasil mendirikan Pastoran Imam Katolik di
Pulau Nias.
Dengan demikian, sebelum Perang Dunia Kedua pecah,
para kaum misionaris yang bernaung di Vikariat Apostolik dihampir seluruh
wilayah barat dan utara Sumatera, merupakan kaum misionaris yang satu visi
dengan Mgr Mathias Brans OFMCap, sejak beliau menulis buku, yang dikenal dengan
judul, “Kita Harus Saling Memiliki”
Vikariat Apostolik Padang yang resmi berdiri 1932,
pada tahun 1941 dipindahkan ke Kota Medan, yang merupakan pusat kota di Wilayah
Sumatera. Sebagai akibatnya Vikariat Apostolik Padang berubah nama menjadi Vikariat
Apostolik Medan.
Tetapi kemenangan Jepang terhadap Sekutu pada
Perang Dunia Kedua, mengharuskan Nusantara resmi menjadi daerah pendudukan
Jepang. Akibatnya, pada bulan April 1942 seluruh Imam, Frater dan para suster
Belanda oleh Jepang dikirim ke Camp Pengasingan selama pendudukan Jepang di
Nusantara, dari tahun 1942 sampai dengan tahun 1945.
Sebenarnya, penjajah Jepang menginginkan juga
penduduk pribumi sebagai generasi pertama yang sudah menjadi katolik untuk dikirim ke Camp Pengasingan, tetapi
mereka menolak tidak bersedia untuk ikut ke Camp Pengasingan.
Sebagai ucapan terima kasih atas dedikasi yang luar
biasa dari para misionaris, banyak Umat Katolik memberi dukungan, dorongan dan
semangat kepada kaum misionaris, tidak hanya selama perang berlangsung tetapi
juga selama periode dari tahun 1945-1950 dimana saat para misionaris dibebaskan
dari Camp Pengasingan.
Namun karena situasi belum stabil, kemudian para
misionaris kembali ditahan di Kota Medan, lantaran konflik antara pejuang
kemerkdekaan Indonesia dengan Belanda masih terus berlangsung.
Para misionaris menggunakan kesempatan selama Agresi
Militer Belanda ke Indonesia, untuk kembali ke tempat dimana sebelumnya mereka
berkarya, sementara pasukan Belanda berkonsentrasi di pesisir pantai Kota
Padang, Medan, Tanjung Balai dan di Kota Pematangsiantar.
Kaum misionaris reguler yang berkarya di Tapanuli,
dibebaskan dari Camp Pengasingan pada tahun 1950 dan menemukan jumlah Komunitas
Katolik menurun sangat drastis. Peristiwa penurunan jumlah itu terjadi selama
beberapa tahun perang berlangsung.
Namun demikian, para misionaris mengucapkan banyak
terimakasih atas kegiatan yang dilakukan para katekis dan para pimpinan kaum
awam, selama para misionaris berada didalam Camp Pengasingan. Para misionaris
melihat, progres ke depannya sudah cukup bagus namun jumlah pekerjanya masih
sangat sedikit.
Pada tahun 1952 misi di Vikariat Apostolik Medan
kemudian dibagi, karya pelayanan di bagian selatan dipercayakan kepada
kongregasi asal Italia yaitu Santo Fransiskus Xaverius (FX) dari Kota Parma,
dan mendirikan Prefektur Apostolik Tanjungkarang dan Padang sendiri yang sempat
menjadi Vikariat kemudian dikembalikan statusnya ke Prefektur Apostolik Padang.
Pembagian tugas pelayanan itu dilakukan, lantaran
Pimpinan Kongregasi Kapusin akan lebih berkonsentrasi di bagian utara yang
semakin membutuhkan perhatian lebih serius, yaitu daerah Sibolga dan Nias di
pantai barat sampai ke daerah Medan di pantai timur.
Menyadari kurangnya tenaga untuk melakukan karya,
Mgr. Brans berusaha menghubungi beberapa misionaris dari luar negeri untuk
berkarya di Vikariat Apostolik Medan demi pertumbuhan yang lebih baik. Untuk
hal ini Mgr. Brans berhasil membujuk Pimpinan Kapusin dari Jerman yang baru
saja menyelesaikan misinya di China pada tahun 1949.
Menanggapi ajakan Mgr. Brans, Pimpinan Kapusin
Jerman pada tahun 1955 mengutus kelompok misionarisnya untuk keberangkatan yang
pertama dan kelompok yang kedua diberangkatkan pada tahun 1958. Dan
selanjutnya, 17 November 1959 wilayah Sibolga berhasil memantapkan diri dan
menjadi Vikariat Apostolik Sibolga meliputi daerah Nias, Tapanuli Tengah dan
Kotamadya Sibolga.
Lebih kurang 48 tahun perjalanan perjuangan Kaum
Misionaris dari Prefektur Apostolik Sumatera, lalu berubah menjadi Vikariat
Apostolik Padang yang kemudian pusat misi dipindah ke Kota Medan yang
mengakibatkan namapun berganti menjadi Vikariat Apostolik Medan, dan Vikariat
Apostolik Padang kembali ke Prefektur Apostolik.
Selanjutnya sejalan dengan pembentukan Hierarki
Gereja Indonesia, maka pada tanggal 3 Januari 1961, wilayah Pulau Sumatera
secara resmi ditetapkan menjadi Provinsial meliputi Keuskupan Agung Medan,
Keuskupan Padang, Keuskupan Palembang, Keuskupan Pangkalpinang, Keuskupan
Tanjungkarang (Pemekaran dari Palembang pada tahun 1952) dan Prefektur
Apostolik Sibolga.
Perjuangan misi yang sangat panjang, setelah 33
tahun berdedikasi untuk gereja katolik di Pulau Sumatera, maka pada tahun 1954
Mgr. Mathias Brans, OFMCap menyatakan ingin istirahat dan akan kembali ke
Negeri Belanda. Sejak pidatonya pada tahun 1921 yang menitik beratkan misi
pelayanan dengan tema “Kita Harus Saling Memiliki”, tidak hanya peduli terhadap
kaum biarawan dari Kolonial Eropa tetapi juga biarawan yang berasal dari kaum
pribumi.
Mgr Brans terkenal dengan perjuangannya untuk
mendapatkan persetujuan guna membuktikan karya misionaris yang seungguhnya
dikalangan penduduk asli Pulau Sumatera, membuat beliau dinobatkan menjadi
penemu Gereja Sumatera yang sesungguhnya.
Berdasarkan kepimpinan dari Mgr Brans, satu biji
yang ditanam berhasil tumbuh dengan cepat menjadi seratus bahkan menjadi
seratus lima puluh biji. Bukti keberhasilan Mgr Brans adalah Mgr. Dr. Ferrerius
Van Den Hurk, OFMCap sebagai uskup pengganti (1955 – 1976), dimana selama
menjabat sebagai uskup pada periode berjalan, Mgr. Dr. Ferrerius Van Den Hurk,
OFMCap menjadi saksi perkembangan gereja katolik di daerah Sumatera Utara
menjadi lebih dewasa dan hasilnya dapat dirasakan berkat usaha dari para imam,
frater, suster dan para kaum awam dan diyakini menjadi puncak tumbuh kembangnya
gereja katolik di Indonesia dari pertumbuhan yang pernah ada.
Dipisahkannya karya misi Prefektur Apostolik Padang
(1952) dan Prefektur Apostolik Sibolga (1959) membuat para misionaris yang
berkarya di lapangan, lebih berkonsentrasi terhadap Tapanuli dengan pelayanan
misi di sekitar Danau Toba.
Pada tahun 1952 sebuah pastoran kembali berhasil
didirikan di Lawe Desky Wilayah Aceh Selatan dan di Tebingtinggi sebuah kota di
daerah pesisir timur Pulau Sumatera dimana banyak ditemukan perkampungan
Masyarakat Batak yang baru mulai tumbuh dan berkembang.
Secara bertahap perpindahan Masyarakat Batak terus
berjalan secara perlahan masuk ke daerah pesisir timur ini, mencari lahan
pertanian yang cocok untuk ditanami. Hal itu terjadi, akibat sulitnya
meningkatkan taraf hidup di Tapanuli, dengan lahan pertanian yang tergolong
sangat sempit.
Dalam hal banyaknya biara-biara yang dibangun di
Tapanuli, sebenarnya Masyarakat Tapanuli sangat berharap, biara-biara juga
dibangun seperti di daerah Parapat (terkabul tahun 1953), di Tarutung (terkabul
tahun 1958) di Parsoburan dan Silaen (terkabul tahun 1959 / kemudian menjadi
pusat misi), dan di Parlilitan (terkabul tahun 1960) begitu juga di Kisaran
pada tahun 1968, Perdagangan pada tahun 1970, di Aek Kanopan pada tahun 1975
dan di Aek Nabara dibangun pada tahun 1978.
Kota Medan dan Pematangsiantar menjadi daya tarik
tersendiri melihat perkembangan umat yang cukup pesat disana. Menyadari itu dan
menanggapi kebutuhan masyarakat katolik disana maka biara-biarapun didirikan di
daerah tersebut.
Lalu pada tahun 1962, melihat sekitar Kota Medan
yang membutuhkan pemisahan karya pastoral dari pusat biarawan berkarya, dengan
membangun unit pastoral yang jelas, maka pada tahun 1968 didirikanlah Rumah
Pastor di Pasar Merah dan di Lubukpakam.
Selanjutnya rumah pastor juga didirikan di Delitua
tahun 1969, di Pasar Baru tahun 1975, Medan Timur tahun 1979 dan di Kota Binjai
pada tahun 1980. Seluruh dana yang digunakan untuk pembangunan rumah pastor
itu, disubsidi oleh paroki-paroki tertua yang berada disekitar Kota Medan.
Pembangunan rumah pastor juga dilakukan di Kota
Pematangsiantar, dengan mendirikan Paroki Jalan pada tahun 1967, dilanjutkan
mendirikan Paroki Jalan Medan pada tahun 1968, dan pada tahun 1976 karya
pastoral di luar Kota Pematangsiantar menjadi Distrik Pastoral yang terpisah.
Sukacita cepatnya perkembangan umat katolik di
berbagai daerah, rupanya tidak dirasakan di Tanah Karo dan Dairi. Didaerah ini,
perkembangan misi terasa bergerak agak lambat. Hal ini terjadi sebagai dampak
dari masyarakat yang terus mencari musuh yang dirasa masih bersembunyi
disekitar mereka setelah perang usai.
Mengingat Kabanjahe masih bersama dengan Paroki
Saribudolok hingga pertengahan tahun 60-an, maka untuk memacu pertumbuhan umat disana
pada tahun 1968 Kabanjahe dipisahkan dari Saribudolok dan menjadi paroki
tersendiri yaitu Paroki Kabanjahe.
Dan setelah pemberontakan yang gagal dari golongan
komunis pada tahun 1965 pertumbuhan umat di Tanah Karo semakin meningkat,
setelah pemerintah membujuk masyarakat yang terlibat memberontak, agar melihat
karya kaum religius. Hal itu menjadi spirit yang besar bagi para misionaris untuk
membangun kepercayaan bagi umat katolik.
Dampak dari bujukan pemerintah terhadap bekas
pemberontak, kemudian paroki-paroki baru berdiri di dataran tinggi Karo. Pada
tahun 1975 berdiri di Bandarbaru, lalu di Tigabinanga berdiri pada tahun 1977.
Di wilayah Tanah Dairi juga terjadi peningkatan
pertumbuhan, sebagai akibat dari perpindahan masyarakat Batak Toba ke Tanah
Dairi, dan menjadi Kristen disana. Diantaranya menjadi umat katolik dan
mendirikan paroki pada tahun 1966 di Tigalingga lalu berdiri lagi di Sumbul
pada tahun 1968.
Mengamati pertumbuhan umat yang begitu pesat, dan
menimbang masa depan karya misi yang membutuhkan pemimpin asli pribumi sumatera,
maka dengan persiapan yang matang dan ekstra hati-hati, Mgr. Ferrerius Van Den
Hurk, OFMCamp mengangkat seorang asisten muda pada tahun 1974 dan menjatuhkan
pilihannya kepada Mgr AGP Datubara, OFMCap. Sejak itu Mgr AGP Datubara resmi
menjadi Uskup Pembantu di Medan.
Satu tahun masa transisi, Mgr Van Den Hurk melihat
kemajuan yang sangat berarti pada diri Mgr AGP Datubara. Semangat karya yang bersinar
dari asistennya, memantapkan dirinya untuk istirahat dan jadilah Mgr AGP
Datubara menjadi Uskup Medan yang baru, maka tongkat penggembalaan umat katolik
khususnya di Sumatera Utara.
Mgr Van Den Hurk (1955 – 1976) telah menorehkan
tinta emas pada pertumbuhan umat katolik di Sumatera Utara. Dibawah arahannya,
gereja di Sumatera Utara tumbuh berkembang dengan pesat. Menjadi sukacita yang
sangat besar, Mgr Van Den Hurk melihat biji yang baik, dan menanamnya di
ratusan tempat untuk kehidupan religius, ratusan orang datang dan terpanggil
untuk menjadi biarawan, dan termasuk untuk terpilihnya putera asli pribumi untuk
memimpin ribuan umat katolik di Sumatera Utara.
Demikian sekelumit sejarah perkembangan gereja
katolik di Sumatera Utara, Keuskupan Agung Medan ... Semoga Bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar